Adelaide, Spring 2016
Tak pernah terbayang sebelumnya untuk
bisa menikmati semerbak harumnya cheerry
blossom saat musim semi di negeri kanguru bagian selatan Australia,
Adelaide. Diberi kesempatan untuk melanjutkan belajar di sini itu bak membuka
pintu-pintu mimpi yang masih terkunci erat. Menaruh mimpi di setiap ruang yang
tersekat oleh dinding dan perlu kunci untuk membukanya satu persatu hingga
mimpi itu terbuka. Tidak semudah mengejapkan mata. Namun butuh doa, nekad dan
nyali besar untuk mendapatakannya.
Tepatnya 6 tahun lalu, kiranya adalah
waktu dimana saya mulai tahu tentang mimpi besar itu. Yaps, kuliah. Mendengar
saya ingin kuliah waktu itu, sontak ibu saya tercengang.
“Mana mungkin bapakmu bisa menguliahkan kamu nduk?”,
itulah kata yang keluar pertama kali dari mulut ibu saya.
Belum selesai kemudian saya bilang, “Ini gratis kok
bu, ndak dipunggut sedikitpun biaya”. “Nanti saya juga akan dapat uang hidup
bulanan”.
“Sudah jangan mimpi kamu nduk, mana ada kuliah
gratis”, pungkasnya singkat.
Hal yang sama yang sempat saya
rasakan selepas lulus SMP, hendak melanjutkkan sekolah SMA. Berbakal dengan
bantuan Rp. 5000 untuk membeli formulir pendaftaran waktu itu dari uang
pemberian wali kelas saya. Nyatanya, Allah memberi jalan hingga saya bisa
menyelesaikan SMK saya dengan bantuan beasiswa dan juga iuran guru-guru semasa
SMP saya.
Kini lebih nekad lagi. Iya, memang
masih seperti mimpi. Kuliah bukan hal yang murah. Apalagi di kampung saya masih
sangat jarang orang bisa kuliah apalagi dengan beasiswa. Namun,semangat saya
tidak pupus begitu saja. Saya ikut mendaftar kuliah di Universitas Negeri
Malang(UM) melalui jalur Bidikmisi. Polosnya saya, saya bahkan tidak tahu
ujungnya kampus UM itu dimana. Saya buta tentang kuliah. Karena semua orang
waktu itu mengidamkan untuk bisa bekerja. Entah, akhirnya saya memutuskan ikut
seleksi Bidikmisi. Saya lengkapi berkas persyaratannya dan kuselipkan ribuan
doa di setiap lembarnya. Diantarlah oleh Bu Wiwik, guru BK di sekolah SMKku
waktu itu. Bismillah.
Berbulan lamanya menanti pengumuman,
sempat galau gegara teman teman saya sudah mencari jalan hidupnya masing-masing.
Ada yang sudah kerja di sini di situ. Akhirnya nekad saya urus kartu kuning,
kartu untuk persyatan mencari kerja. Nyaris hampir saya putus asa karena
pengumuman tak kunjung tiba. Saya memutuskan ikut teman-teman untuk mencoba
mengarungi nasib di Kota Batam, kota favorit untuk mengais rupiah katanya. Karena
orientasi masa itu adalah kerja kerja dan kerja. Namun, tak lama sepertinya
Allah membukakan pintu mimpi-mimpiku selanjutnya.
“Takdirmu lain nak, kamu diterima di
Universitas Negeri Malang, Jurusan Bahasa Inggris penuh dibiayai oleh
Bidikmisi”
Mendebarkan adalah ketika momen
pengumuman lolosnya saya menjadi mahasiswa bidikmisi ini. Kali itu jaman warnet
masih jarang, masih ingat betul waktu harus ngontel
ke warnet, dan pulang tahu ketika diterima, sekuat-kuatnya saya kayuh sepedaku
sesampainya di rumah, “Bu, saya keterima kuliah, kuliahhh bu. Alhamdulillah,
jadi kuliah”. Tetes eluh ibu saya rasanya
mengungkapkan begitu luar biasa bangganya waktu itu. Anak hanya dari seorang
buruh tani berani-beraninya menantang dirinya untuk kuliah. Pilihan macam apa
waktu itu?
Entah pilihan Allah mana lagi yang terbaik
yang Ia pilihkan. Mengambil Bahasa inggris itu sempat menjadi mimpi buruk di
awal semester. IP pas- pasan gegara background
kuliah dari tata busana kemudian berjibun dengan grammar, literature, essay.
Namun, perlahan hingga lulus saya bisa menyelesaikan tugas belajar saya di UM
dengan baik.
Lika-liku menjadi mahasiswa bidikmisi
rasanya amat sangat luar biasa. Tidak dapat dipungkiri jika suatu saat beasiswa
macet turun. Muter otak bagaimanapun caranya saya bisa hidup adalah tugas kedua
selain belajar. Akhirnya menjadi tukang juru reportase koran lokal menjadi
andalan saya. Sempat menjajali menjadi tukang penerjemah, namun belum rejeki,
karena berkerja pernah tak terupahi. Ingat betul, disaat-saat tahun akhir
kuliah. Selain itu, saya juga ngalor-ngidul
mencoba mengamalkan ilmu di salah satu sekolah dan bimbingan belajar juga tidak
kalah bikin hidup makin serabutan. Godaan makin besar. Wira wiri malang, lelah
di jalan. Hujan, malam-malam mengontrol gas sepeda motor. Sempat lagi ketika
waktunya membaayar uang kos namun belum cair, sengaja bapak ibu saya mencarikan
pinjaman dan mengebalikan saat uang sudah cair. Terkadang harus dicicil sampai sungkan ketika harus ditagih.
Jika ditanya kontribusi apa yang kamu
bisa berikan saat selama 4 tahun kuliah di UM dengan bidikmisi? Rasanya
pertanyaan ini benar-benar membuat malu. Saya adalah mahasiswa biasa, bukan
dengan IPK cumlaude dan segudang prestasi akademik yang membanggakan. Saya
hanya mahasiswa yang hanya mampu menyisihkan sedikit waktunya sekedar berbagi
bahagia bersama kawan seperjuangan di Formadiksi UM, walau hanya terkadang menjadi
juru tulis kadang menjadi juru dana. Sesekali tiap pekan mencoba menyibukkan
diri merangkai berita di LPM Siar, UKMP. Terkadang juga ikut nimbrung di HMJ Legato.
Bersyukur bisa belajar dengan orang-orang hebat di sana. Mengenal uniknya
mahasiswa penuh talenta dan inspirasi.
Ditengah riuhnya kuliah, saya
memberanikan diri memperpanjang mimpiku. Duhai negeri kanguru, apa mungkin saya
bisa kesana? Hingga pada akhirnya, 2014 selepas wisuda saya berangkat dengan
lagi-lagi mimpi saya. Saya mendaftar LPDP jalur afirmasi, dikarenakan saya
alumni bidikmisi dengan IPK cumlaude. Alhamdulillah, dengan ijin Allah dan restu
orang tua saya, 2016 awal saya berangkat ke negeri impian, Australia. Ini bukan
mimpikah?
Sembari menunggu LPDP, saya
memutuskan untuk mengadibkan diri di salah satu sekolah dasar di kabupaten
Malang. Mereka adalah inspirasi kesekianku untuk bisa mengejar mimpi saya.
Benar-benar mengabdikan waktu dari pagi petang hingga malam petang. Demikian
dan seterusnya. Pagi menyalami tangan mungil generasi emas Indonesia, siang
menemani mereka yang berjuang dengan tumpukan tugas tugas sekolah dan malam
sesekali memutar memori lama pelajaran sekolah untuk anak-anak di kampung saya.
Melalahkan itu pasti.
Untuk bisa berada di Adelaide ini,
butuh perjuangan yang cukup sayang jika hanya dikenang. Diam-diam saya apply
LPDP, karena pada saat itu saya baru saja diterima menjadi guru di salah satu
sekolah dasar. Setelah dinyatakan lolos LPDP, saya mengikuti tes di Surabaya.
Berempat dengan kawan alumni bidikmisi, petang itu kami berangkat naik motor
malam-malam. Bingung mencari tumpangan tempat tinggal. Setelah dinyatakan
lolos, mau tidak mau saya harus meninggalkan sekolah saya. Ini momen terberat
kesekian di saat saya harus melepas apa yang sudah saya raih dengan susah
payah. Melihat wajah-wajah polos penuh harapan dari murid-murid saya adalah
seperti tamparan dosa yang sekalinya pedih tercambukkan ke muka saya. Mereka
yang amat sangat berat melepas saya pergi. Sempat dibuat geram gegara tidak
diijinkan. Ditakuit-takuti karena jika saya keluar kemungkinan saya tidak lain
akan hanya ada penyesalan. Tapi ini demi mimpi, saya dengan berat hari
meninggalkan mereka. Isak tangis sesakli dengan amarah murid-murid sempat
mengacaukan pikiran. Resah berhari-hari. Tiap pagi malam selalu ditanya apa
kabar ustadazah(sebutan saya di sekolah)?
Sampai awal 2015, saya mengikuti PK atau
persiapan keberangkatan yang merupakan persyaratan wajib penerima LPDP. Waktu
itu kami berangkat bersama beberapa teman alumni bidikmisi UM lainya menuju
Jogja, salah satunya adalah Sahrul Romadhon, ketua Formadiksi 2011. Kami sempat
terlantar, terusir ketika mencoba menumpang di emperan Masjid, tertinggal
kereta, sampai kehilangan laptop. Sungguh, keberadaan mereka adalah semangat
yang tak terbayarkan. Selain itu bisa bertemu orang-orang hebat dari seluruh
negeri adalah angugerah mimpi kesekian saya dalam hidup. Mengikuti pengayaan
Bahasa selama 6 bulan di Bandung. Menyisihkan sedikit rupiah untuk tes IELTS
yang terkenal mahal. Pagi malam hari tiada kata selain belajar dengan IELTS. Pernah
dibilang terlalu ambisius karena saya terlalu bermimpi untuk bisa belajar di
Australia. “Tidak”, saya katakan. Ini adalah pilihanku dan saya harus
bertanggung jawab untuk pilihan dan mimpiku yang telah saya perbuat sendiri.
Kini saya berada diujung semester
tahun pertama saya. Banyak hal baru yang saya pelajari disini. Dunia belajar
yang cukup bebeda dari Indonesia.
Bahagia adalah ketika saya bisa
mengenalkan Indonesia di luar negeri. Sering menampilkan budaya Indonesia lewat
tarian dan music tradisional di hadapan ratusan warga asing terkadang membuat
hati terenyuh. "Cuma ini yang saya bisa”, mungkin begitulah gumamku ketika
melihat penonton antusias melihat kami. Selain belajar, sangat bersyukur sekali
bisa mengenal negara ini dengan orang-orang yang baik. Ikut mengabdi di
Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia(PPIA) di Adelaide, menjadi volunteer inspirasi di salah satu
sekolah di sini, berbagi sedikit kisah hidup bersama mentees saya.
Semua itu berawal hanya dari mimpi
tanpa sengaja terbuka satu persatu hingga menjadi kenyataan. Alhamdulillah,
berkat Bidikmisi pula saya bisa berada di sini. Menyambung mimpi-mimpi yang
lain. Menyiapkan kunci untuk membukanya.
Saya yakin, setiap dari kita pasti merasakan rasanya membuka satu
persatu pintu mimpimnya. Namun, setiap dari kita pasti memiliki kunci
masing-masing dan cara berbeda untuk membukanya.
Terimakasih Bidikmisi.
Terimakasih LDPD.
Terimakasih sudah mengantarkanku untuk menjemput setiap mimpiku.
Terimakasih Bidikmisi.
Terimakasih LDPD.
Terimakasih sudah mengantarkanku untuk menjemput setiap mimpiku.
Penulis:
Fitria
Ningsih
Alumni
Mahasiswa Bidikmisi UM 2014,
Mahasiswi
Master of Education, Adelaide University, Australia