#1. Terperosok
ke Kali
Aku masih
sangat ingat betul kejadian beberapa tahun silam ketika aku masih berusia
sekitar 4 atau 5 tahun. Benar memang, memori anak-anak terhadap hal sekecil
apapun akan teringat kembali ketika ia sudah menginjak dewasa. Dan terbukti, kejadian yang benar2 memilukan
waktu itu……..
Ceritanya, aku
suka sekali kalo diajak ibu ku ke sawah. Jelas, bapak ku kerja sebagai petani.
Setiap hari kerjanya di sawah. Membajak, menanam, dan memamen. Sekilas itulah
yang dilakukan petani pada umumnya, iya kan?. Kalau bapakmu petani pasti tahu, J Pagi itu,
aku ingat betul, bapak sedang menggarap sawah sepetak milik budhenya
bapak. Layaknya petani, hal yang paling dinanti nanti ketika sedang di sawah yaitu
se-rantang makanan yang sengaja dikirim dari rumah. Yang biasanya disantap
sembari beristirahat, sejenak setelah melepas lelah, berpanas panas dibawah
terik matahari.
Sepertinya
hidangan ibu ku waktu itu cukup lezat. Bergegaslah kami menuju sawah yang cukup
jauh dari rumah. Dikarenakan jaraknya yang lumayan capek kalau kita harus
berjalan, ibu sering memboncengku naik sepeda. Gimana gak seneng, anak kecil
belum tau apa2, diajak main ke sawah saja bungahnya gak ketulungan.
Biasanya, kalau aku dibonceng ibu, kedua kakiku diikat di sepeda biar gak jatuh
waktu jalannya terjal. Biar kakinya gak masuk di jeruji sepeda. Dan yang paling
ngangeni itu kalau ibu bilang, “Ayo pegangan baju ibu, biar ndak jatuh”. Sumpah
merinding rasanya kalo ingat masa-masa itu. Ah Ibu, bisa gak ya masa itu
diulang? L
Hampir setiap
hari saya diajak ibu main ke sawah. Maklum, bapak ibu ku petani jadi mainnya ke
sawah. Mungkin temen-temen yang tinggal di kota mainya ke Mall kali ya?
Hehe. Satu hal yang paling gak bisa dilupakan banget itu, setiap kali aku
diajak ke sawah ibu ku selalu membelikanku jajan, biasanya ciki-ciki dan permen
terus dimasukkan ke kantong kresek. Jujur, bagi anak sesusianku itu senengnya
naudzubillah. Sering kali kalau sedang ditinggal ibu membantu bapak, aku
dibuatkan pondok2an, katanya biar gak kepanasan. Subhanallah, kasih orang tua
kepada beta sungguh tak terkira. Iya kan? Kadang kalau gak gitu bapak sering
menitipkan ku di pondok pemilik sawah sebelah. Bisa ngebayangin gak pondok di
sawah seperti apa? Hehe. Terbuat dari kayu yang disambung sambung, atapnya dari
sisa daun tebu. Jangan Tanya, kalau main ke sawah sering gatal – gatal karena
digigit semut besar, kata ibuku nanamya semut Linying. Heuuu, kalau udah
nggingit, mbrendol sebadan.
Kebetulan,
waktu itu aku masih sendiri, belum punya adik. Jadi kemanapun ibu ku pergi
selalu ngekor dibelakangnya. Hahaha. Tapi sepertinya waktu itu lagi apes.
Pagi-pagi ketika dalam perjalanan mengantar sarapan untuk bapak di sawah, ibu
dan aku nyebur ke sungai. Ya Allah, bener2 pengalaman yang gak bakal aku lupain
seumur2. Aku gak ingat betul kejadian semuanya. Aku cuma ingat, sepanjangan
jalan menuju sawah kita harus melewati kali. Kali yang digunakan untuk mengairi
sawah. Setelah melewati dam, atau orang2 biasa menyebutnya ledeng, ada jalan
sempit seperti jurang kecil, jadi kalau naik sepeda pancal harus sambil direm,
kalau tidak bisa2 mengglundung dahhh. Nah, walhasil, itu terjadi pada
ibu. Aku gak ingat kenapa awalnya, entah jalannya yang terjal, atau licin seusai
hujan atau gimana yang jelas aku lupa. Pastinya yang aku ingat, tiba-tiba
sepeda yang dinaiki ibu oleng, kebayang paniknya kan?, Dannnn “Gubrakkkkkkkk…. “.Kita
terperosok ke kali. Asal kalian tahu saja dalamnya kali nya? Jarak jalan ke
bawah kali itu setinggi 2 orang berdiri. Lumayan dalemmm kan? Jadi kita jatuh
dari atas jalan dalam posisi masih bersepeda.
Kebayang
rasanya? Posisi kedua kaki ku masih diikat di sepeda. Posisi tangan yang tak
terlepas dari baju ibu ku. Aku ingat betul waktu itu ibu ku pakai baju kuning,
baju favorit orang hebat satu ini cuma itu2 aja. Jadi selalu kebayang kapanpun
ibuku pergi dia sering pakai baju itu. Kami basah kuyup. Makanan di rantang
yang ditaruh di setir depan sepeda tumpah ruah, campur air, kerikil, juga
dedaunan yang ada di kali. Makanan yang sudah di nanti2 bapak sedari tadi sudah
tak rupa. Tercecer kemana-mana. Tidak ada siapapun waktu itu. Tidak ada siapa2
yang menolong. Kami sendiri yang merangkak rangkat tak karuan. Aku tidak tahu
bagaimana cara mengeluh. Menangis. Menangis yang cuma bisa saya lakukan.
Sesekali ibu mengusap luh air mataku dengan baju kuningnya yang basah. Maksud
hati ingin mengambil sisa makanan yang bisa diambil untuk dikirim ke bapak, dan
ternyata nihil. Hanyut sudah, nasi dan lauk jangan lodeh yang lezat,
yang sudah ia masak sejak petang dini hari. “Sudah ndak papa, ayo kita pulang
saja nduk”, ujarnya.
Setelah
merangkak naik ke jalan, sempat ibu ku mengajak ke rumah kakaknya yang tidak
jauh dari sawah. Inginnya meminjam baju biar anaknya tidak menggigil pulang
kedinginan dan mencurahkan sedikit keluhnya setelah terjatuh ke sungai yang
cukup curam. Dan ternyata, zonkkkk.. hiks. Yasudah, akhirnya kita pulang dalam
keadaan basah kuyup. Sesekali menarik perhatian orang di pinggir jalan, “Hlo
kenapa kok basah semua mbak?, habis kenapa sampean?”, tanya mereka. Bisa
membayangkan ketika kalian dibonceng sepeda ontel ibu kalian, bajumu kotor
basah, baju favorit ibunya lusuh campur lumpur di kali tadi, sambil membawa
rantang kosong tempat makanan yang seharusnya sudah nikmat disantap oleh
bapakmu?
“Ibu, kali ini sedang apes kah kita?”
0 comments:
Post a Comment